Semoga Allah Melimpahkan Rahmatnya kepada Kita Semua

Rabu, 04 Agustus 2010

MENGKAJI PENGERTIAN BID'AH

Pengertian Bid'ah


Gencarnya persoalan bid’ah di kalangan umat muslim menjadikan perpecahan di kalangan islam. Sebetulnya apa bid’ah itu?

Menurut Al-Imam Abu Muhammad ‘Izzudin bin “Abdissalam:



“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah SAW” (Qawaid Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, Juz II, hal 172)


Melihat definisi diatas, maka cakupan Bid’ah itu sangat luas sekali. Mencakup semua perbuatan yang tidak pernah ada pada masa Nabi Muhammad SAW. Karena itulah sebagian besar Ulama membagi Bid’ah menjadi lima macam:



  1. Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’. Seperti mempelajari ilmu Nahwu, Shorof, Balaghah dan lain-lain. Sebab hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits secara sempurna.

  2. Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’. Seperti madzhab Jabariyyah dan Murji’ah

  3. Bid’ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, sholat tarawih berjama’ah sebulan penuh

  4. Bid’ah Makruhah, seperti menghiasi mesjid dengan hiasan yang berlebihan

  5. Bid’ah Mubahah, seperti berjabat tangan setelah shalat dan makan-makanan yang lezat. (Qawaid Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, Juz I, hal 173)

Maka tidak heran jika sejak dahulu para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua bagian besar. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i RA yang dikutip dalam kitab Fath Al-Bari:



“Sesuatu yang diada-adakan itu ada dua macam. (pertama), sesuatu yang baru itu menyalahi Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar Sahabat atau Ijma’ Ulama. Ini disebut bid’ah dhalah (sesat). Dan (kedua) sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Ijma’). Maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak di cela” (Fath Al-Bari, juz XVII hal 10)


Dari sini dapat diketahui bahwa bid’ah terbagi menjadi 2 bagian. Pertama, Bid’ah Hasanah yakni Bid’ah yang tidak dilarang dalam agama karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, bid’ah mandubah, dan bid’ah mubahah. Dalam konteks inilah perkataan Sayyidina ‘Umar bin Khattab RA tentang jama’ah shalat Tarawih yang beliau laksanakan. “sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni sholat tarawih dengan berjama’ah)”. (Al-Muwaththa, 231)

Contoh, Bid’ah hasanah adalah khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, memberi nama pengajian dengan istilah kuliah shubuh, menambah bacaan Subhanallahu Wa Ta’ala (diringkas jadi SWT) setiap ada kalimat Allah, dan Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (diringkas jadi SAW) setiap ada kata Muhammad. Serta perbuatan lainnya yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW. Namun tidak bertentangan dengan inti ajaran agama Islam.

Kedua, Bid’ah Dholalah (sayyi’ah), yaitu bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah Muharromah dan Bid’ah Makruhah dapat digolongkan pada bagian kedua ini. Inilah yang dimaksud sabda Nabi Muhammad SAW:



Dari Aisyah RA, ia berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak” (Shahih Bukhori, 243)


Dengan adanya pembagian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amaliyah yang akan menambah syi’ar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap waktu dan tempat (Shahih li kulli zaman wa makan)

Dari penjelasan di atas, muncul persoalan baru....


Bagaimana Dengan Hadits Rasulullah Saw Yang Menyatakan Bahwa Semua Bid’ah Itu Sesat???


Untuk itu, kita harus memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits secara keseluruhan dan tidak bisa dilihat secara parsial atau hanya melihat arti lahiriyah sebuah teks. Ada banyak hal yang harus diperhatikan ketika membaca serta menfsirkan Al-Qur’an atau Al-Hadits. Misalnya kondisi masyarakat ketika ayat tersebut diturunkan. Termasuk pula meneliti teks tersebut dari aspek kebahasaannya, yakni dengan perangkat Ilmu Nahwu, Sharf, Balaghah, Mantiq, dan sebagainya.

Hadits yang sering dijadikan dasar pelarangan semua bid’ah itu adalah:



“dari ‘Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru (yang bertentangan dengan syara’). Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal-hal baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan yang baru dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu sesat” (Sunan Ibnu Majah, 45).


Dalam hadits ini, Nabi SAW menggunakan kata kullu yang secara tekstual diartikan semua atau seluruh. Sebenarnya kata kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua. Namun adakalanya berarti sebagian. Seperti firman Allah SWT.



“dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air.” (QS. Al-Anbiya, 30)


Walaupun ayat ini menggunakan kata kullu, namun tidak berarti semua benda yang ada didunia ini diciptakan dari air. Buktinya adalah firman Allah SWT:



“dan Allah SWT menciptakan jin dari percikan api yang menyala.” (QS Al-Rahman, 15)


Maka demikian pula dengan Hadits tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata kullu, bukan berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang terlarang adalah sebagian bid’ah saja, tidak semuanya. Ini bisa dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga banyak yang melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah SAW masih hidup. Misalnya usaha untuk membukukan Al-Qur’an, menambah jumlah adzan menjadi 2 kali pada hari jum’at, shalat Tarawih secara berjama’ah sebulan penuh, dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW.

Melihat dari Hal diatas, kata kullu dalam Hadits itu berarti sebagian, bukan keseluruhan. Karena itu tidak semua bid’ah dilarang. Yang dilarang hanya bid’ah yang secara nyata merusak ajaran agama Islam. (Wallahu ‘Alam)

(sumber: FIQH TRADISIONAL, KH MUHYIDDIN ABDUSSHOMAD)

3 komentar:

  1. sip lakh....!!!!!!

    BalasHapus
  2. kalo kita mengerjakan sesuatu yang berlebihan kan bid'ah.
    tapi saya pernah denger.
    katanya kalo kita beribadah di bulan nispu sa'ban, melakukan sholat malam, mengaji dan do'a malam. itu sama juga dengan bid'ah
    bagai mana pendapat anda?
    trimakasih
    wassalam

    BalasHapus
  3. "bid'ah itu a/ mengerjakan sesuatu yang baru yang tidak dilakukan pada zaman Rasulullah.. "
    beribadah tidak mengenal waktu, siang atau malam, sya'ban atau bukan. yang terpenting, ibadah untuk meningkatkan iman dan taqwa itu harus dilakukan.
    perihal ibadah pada saat nisfu sya'ban supaya lebih jelas klik link disini
    terima kasih

    BalasHapus